Minggu, 17 Agustus 2008

Bilangan Fu : Angka Mistis Ayu Utami


Buku Bilangan Fu tulisan Ayu Utami adalah buku tentang penjelajahan spiritualitas (spiritualisme kritis, demikian bahasa Ayu Utami), yang menurut saya terhitung berani dalam mempertentangkan mainstream monotheisme agama samawi versus agama bumi, mengajak jujur dalam laku iman, kaya imajinasi dan kosa kata tak lazim (ganjur tebing, berjerangut, kesemenjanaan, gawir, gelojoh ...) meski juga tak selalu mudah dipahami dalam ide. Agak berbeda dengan dua novel sebelumnya, penulisan buku Bilangan Fu bergaya semi jurnalistik (mengingatkan pada novel mistis Kalatidha nya Seno Gumira) – merangkai rekaman peristiwa nyata atau dianggap nyata , baik yang faktual maupun yang diyakini sebagai legenda purba yang hidup, sebagai bingkai eksplorasi spiritualitasnya, sembari mengaduk-aduk berbagai paham kebatinan, agama dan filsafat.

Dengan ketebalan 500 halaman lebih, sudah pasti menulisnya butuh stamina prima dan nafas panjang untuk memelihara ‘ruh’ buku ini, yang sayang tak terlalu berhasil dipelihara oleh penulisnya. Bahasa puitis yang nikmat memikat di lembar-lembar awal – salah satu kekuatannya, adalah salah satu ‘ruh’ yang perlahan menghilang di lembar-lembar berikutnya. Simak saja beberapa sekedar contoh berikut : aku menjerit anjing, ada yang meraung jalang, suaranya gaduh anjing dibunuh, rambutnya ular berbisa, dst... Ada kenakalan segar yang puitis, dan mengundang senyum. Jika bisa lebih lama dipertahankan, saya yakin seberapapun tebalnya buku ini tidak akan menjadi terlalu melelahkan untuk dinikmati.

Kekuatan lain buku ini adalah karakter tokoh cerita yang tergambar kuat melalui mata Yuda – tokoh utama, maupun catatan Parang Jati sahabatnya. Sayang, justru karakter Marja – perempuan tempat kedua lelaki bersahabat itu berbagi kehangatan, dan pandangannya terhadap karakter Yuda dan Parang Jati dari kacamata perempuan - tidak tergambar jelas, misterius.

Kenakalan khas Ayu Utami – sebagaimana muncul pada dua buku sebelumnya (Saman dan Larung), adalah ‘keliaran’ fantasi seksualnya yang terekam pada perilaku seks tokoh-tokoh utama. Hanya kali ini rasanya menjadi agak ganjil, barangkali karena disandingkan dengan beberapa kutipan kisah dalam kitab suci yang menjadi bagian dari penceritaan, seperti kotbah di bukit, hukum rejam atas perzinahan, dst ... Sarat pesan yang membuat terengah, sebagaimana kutipan tanpa nama koleksi Yuda : kelak, ketika tua, kita tahu kita semakin sulit tertawa.
Bagaimanapun, buku – yang dibandrol dengan harga Rp. 60.000,- ini amat layak dibaca oleh lebih banyak kalangan, agar lebih banyak pula yang dapat menghargai kemajemukan sebagai realitas keseharian.


fred baning, 19 Juli 2008



Antara Dunia Nyata dan Dunia Mimpi

Alkisah, berkatalah seorang selebritis papan atas negeri ini dalam suatu wawancara dengan harian nasional – yang tentu saja, papan atas juga, di suatu waktu pertengahan bulan ini , ‘ .......bagiku, makan itu tak sekedar bikin perut kenyang, tapi suatu pencapaian seni ..’
Dalam konteks masyarakat modern metropolit, pencapaian seleb kita ini telah sampai pada suatu tahap yang menjadi mimpi sukses kaum urban dengan ciri : enak dipandang, gemerlap, wangi, cerdas, melek IT dan berduit. Dengan kata lain, tahu sekali bagaimana cara ternyaman menikmati hidup. Tak ada rumusan dan tuntutan bahwa hidup keseharian seorang publik figur - yang artis, mestilah cerminan citranya di dunia maya, atau sebaliknya. Sebagai selebritis – walaupun dikenal sebagai presenter acara parodi politik yang notabene banyak mengkritisi fenomena-fenomena politik dan sosial di suatu ‘negeri impian’, dia dapat menjalani hidup yang demikian berbeda di dunia nyata, dunia sehari-hari kita. Semua sah dan wajar saja. Waktu berputar dan hidup mesti terus berjalan.
Maka, berkatalah dia – saya bayangkan dengan nada ringan dan riang gembira, sesuai karakter yang dikenal publik, bahwa bisnis makanan adalah salah satu bisnis yang mampu bertahan pada masa krisis. Masih menurutnya, umumnya kita makan tiga kali sehari, dan tak mungkin orang berhenti makan.
Adalah hak setiap orang untuk menikmati dan merayakan kegembiraan hidup hasil jerih payah keringat sendiri. Sebagaimana juga hak kita untuk peduli atau tak ambil pusing bagaimana jalan orang lain bertahan hidup. Sepanjang tidak mengganggu dan merugikan the others ……so What, gitu loh ? Business as usual.
Namun semoga kita tidak lupa , di luar sana – dunia nyata, bukan dunia mimpi, berjuta anak bangsa papan bawah negeri ini hanya mampu makan sekali dalam tiga hari. Tak jarang yang dimakan pun tak lebih layak dari makanan kucing. Dan maaf, kalau mereka masih dalam tahap : makan hari ini, sembari berharap esok masih bisa menunda mati.

Fred Baning, 14 Juli 2008

Catatan dari Bedah Buku Jerusalem


Bedah buku Jerusalem tulisan teranyar Trias Kuncahyono, yang wartawan senior Kompas itu, di Grha Kompas Bandung (10/7/08) menyisakan beberapa pertanyaan menggantung, yang muncul dari buah diskusi - tak cukup sengit. Tak cukup sengit, karena para pembahas dapat dikatakan bertolak dari titik pandang yang sama dalam memahami konflik di Timur Tengah, sebagai latar fenomena praktek umat beragama di Jerusalem, yang coba diangkat penulisnya sebagai pesan perdamaian bagi dunia. Barangkali ini termasuk dalam strategi pemasaran penerbit buku Kompas : menghindari konflik tajam (yang belum jelas apa manfaatnya) untuk meraih keuntungan pasar (yang sudah jelas hitungannya..:) ? Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU yang kini berpolitik, nyaris tampil sebagai ‘pembicara tunggal’, tanpa bermaksud menafikan pembicara lainnya. Sejak awal sikap Zuhairi sudah jelas, sebagaimana tersurat dalam kata pengantar buku ini, pun pandangannya yang tersebar melalui tulisan di berbagai media menyangkut isu-isu pluralisme.
Meskipun yang dibahas buku Jerusalem, tak terhindarkan diskusi kemudian melebar ke banyak topik. Barangkali karena menyangkut masalah Palestina yang sensitif nan tak kunjung mencapai titik temu pertikaian, dengan cepat merangsang ingatan dan emosi kolektif peserta diskusi, termasuk salah satu pembahas, untuk melihat masalah dalam bingkai historis makro : konspirasi global dibalik konflik Palestina dan gerakan Zionisme.
Salah satu pernyataan menarik disampaikan oleh Prof. Nanat Fatah Natsir (Rektor UIN SGD )menyangkut pluralisme, bahwa umat muslim - dalam konteks pluralisme, harus yakin bahwa ajaran Islam lah yang paling benar jika dihadapkan dengan agama-agama lain. Namun pada saat yang sama, umat Islam juga harus menghargai kebenaran yang diakui sebagai kebenaran oleh penganut agama lain. Pernyataan pertama biarlah menjadi keyakinan masing-masing umat, namun untuk yang terakhir rasanya seperti tontonan akrobat tari ular : melepas kepala ular, sembari mencengkeram erat ekornya. Senada dengan Prof Nanat adalah pandangan Prof. Koerniatmanto (Guru Besar Hukum Unpar) – yang calon pastur gagal itu.
Malang nian nasib 'Kebenaran', yang tersekat dalam kotak-kotak. Bukankah kebenaran itu sesuatu yang universal ? Sebagaimana pandangan universal bahwa korupsi adalah tindakan tidak benar. Sampai saat ini – setidaknya menurut saya, tak ada terminologi korupsi menurut versi si A, atau korupsi versi si B dan seterusnya ...
Setelah Konsili Vatican ke 2 – dalam ’Nostra Aetate’ (Hubungan gereja dengan agama-agama bukan Kristen) pun gereja mengakui bahwa : ' Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci '. Juga dibagian lain disebutkan : ’ (agama lain)........tidak jarang memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang’. Tidak disebutkan syarat kebenaran sebagai ’ kebenaran yang diakui sebagai kebenaran oleh penganut agama lain’. Bahkan gereja mempunyai pandangan revolusioner menyangkut dogma keselamatan, sebagaimana tercantum dalam Lumen Gentium (Cahaya Bangsa-bangsa) bahwa keselamatan pun dapat ditemukan diluar gereja, sepanjang kita hidup menurut hati nurani. Sekali lagi, karena adanya pengakuan kebenaran universal.
Dengan semangat Konsili Vatican , pluralisme, menurut saya –adalah pengakuan, penghargaan dan kesediaan hidup dalam perbedaan dengan yang lain , dan keyakinan akan kebenaran agama sendiri sembari mengakui adanya kebenaran dalam agama lain. Ada banyak pintu menuju Tuhan, demikian kira-kira menurut Nurcholish Madjid.
Barangkali, hanya kenaifan semata ?

Fred Baning, 12 Juli 2008